Jumat, 21 Februari 2025

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih dan Mazhab-Mazhab Hukum Islam

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DAN MAZHAB HUKUM ISLAM


MUKHSIN, S.Pd.I., M.Pd
Ka. Prodi PAI STAI AF

Pendahuluan

Ushul Fiqih adalah disiplin ilmu Islam yang membahas tentang metode penggalian hukum syariat dari sumber-sumbernya, seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas. Ilmu ini menjadi fondasi untuk memahami dan menetapkan hukum Islam yang fleksibel, dinamis, dan kontekstual. 
Mudawam, S. (2021) Sumber utama hukum Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, serta sumber sekunder, seperti Ijma' dan Qiyas, digunakan oleh Ushul Fiqih. Metode ini juga menggunakan istihsan, istislah, dan 'urf untuk menangani masalah saat ini sambil tetap berpegang pada maqasid al-syariah, yaitu tujuan utama hukum Islam yang berpusat pada kemaslahatan manusia.
Untuk membentuk pemahaman Islam yang lengkap, Fiqh dan Ushul Fiqih saling melengkapi. Menggabungkan keduanya memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk memperkuat keyakinan dan praktik keagamaan umat Islam.
Ushul Fiqih sangat penting untuk melihat hukum fiqh modern, terutama dalam kegiatan ekonomi syariah. Metode ini digunakan untuk menganalisis kasus ekonomi kontemporer dengan menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah serta argumen Ijma' dan Qiyas. Ushul Fiqih juga membantu dalam memahami dan menyelesaikan masalah furu'iyah atau fiqhiyyah yang terus muncul.
Ushul Fiqih adalah disiplin penting dalam Islam yang memberikan kerangka kerja untuk memahami dan menerapkan hukum syariah secara kontekstual dan dinamis. Dengan mengintegrasikan sumber-sumber hukum utama dan metode interpretasi yang relevan, Ushul Fiqih dapat menjawab tantangan hukum modern dan memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dan bermanfaat bagi umat manusia.
Perkembangan Ushul Fiqih tidak terlepas dari sejarah perkembangan hukum Islam itu sendiri. Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, kebutuhan akan kaidah-kaidah hukum yang sistematis semakin meningkat, terutama dalam menghadapi permasalahan baru yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an maupun Hadis.

1. Perkembangan Ushul Fiqih dari Masa ke Masa

Sejarah perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi menjadi beberapa fase:

A. Masa Rasulullah ﷺ (610–632 M)

Hukum Islam saat ini berasal dari Al-Qur'an dan Hadis. Rasulullah صلى الله عليه وسلم berfungsi sebagai sumber utama hukum Islam untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dan membuat keputusan tentang masalah yang muncul di masyarakat. Tidak ada proses penggalian hukum yang diatur secara sistematis karena orang Islam memiliki kemampuan untuk bertanya secara langsung kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

B. Masa Khulafaur Rasyidin (632–661 M)

Setelah wafatnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم, para sahabat yang berpengetahuan luas dalam agama Islam, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, bertanggung jawab untuk mengembangkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an, Hadis, dan ijtihad mereka sendiri. Metode istinbat (penggalian hukum) mulai berkembang pada saat ini, tetapi masih bersifat individu.

Contoh penerapan ijtihad di masa ini:

  • Umar bin Khattab menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri saat terjadi masa paceklik. 

Sekitar tahun 18 H, terjadi paceklik yang parah yang dikenal sebagai "Tahun Abu" (عام الرمادة), yang ditandai dengan kekeringan yang melanda Jazirah Arab, menyebabkan kelaparan dan krisis pangan yang parah.
Banyak orang terpaksa mencuri untuk bertahan hidup dalam situasi seperti itu. Melihat situasi ini, Umar bin Khattab menolak untuk menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah diatur dalam Al-Qur'an:

"Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan dan sebagai sanksi dari Allah."
(QS. Al-Ma’idah: 38)

Dasar Pemikiran Umar bin Khattab

Umar menggunakan prinsip "dar'ul hudud bisy-syubuhat", yang berarti menghindari hukuman hudud jika ada keraguan atau syubhat. Dalam situasi paceklik, dia berpendapat:
Mereka mencuri karena kebutuhan hidup, bukan karena keserakahan.
Jika ada faktor eksternal yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan di luar kehendaknya, hukum hudud tidak boleh diterapkan.

Oleh karena itu, Umar menghentikan sementara penerapan hukum potong tangan bagi pencuri hingga kondisi ekonomi membaik.

  • Ali bin Abi Thalib menggunakan metode analogi (qiyas) dalam beberapa kasus hukum.

Ali berargumen:
"Jika seseorang minum khamr, maka ia akan mabuk. Jika ia mabuk, ia akan mengigau. Jika ia mengigau, ia bisa mencemarkan nama baik orang lain. Maka, hukumannya harus disamakan dengan hukuman qadzaf, yaitu 80 kali cambuk."

Khalifah Umar menerima qiyas yang dilakukan oleh Ali ini, dan sejak saat itu, hukuman bagi peminum khamr ditetapkan menjadi 80 cambukan.

C. Masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in (661–850 M)

Selama periode ini, wilayah Islam semakin luas, menyebabkan munculnya berbagai persoalan hukum baru. Para ulama dari generasi tabi'in mulai mengembangkan metodologi istinbat hukum secara lebih sistematis.

Dua metode utama saat ini muncul:
Pertama: Madrasah Hadis (Hijaz, Makkah, dan Madinah): lebih bergantung pada Al-Qur'an dan Hadis, dan lebih hati-hati dalam membuat ijtihad. Imam Malik bin Anas mendukungnya.
Kedua: Madrasah Ra’yu (Irak/Kufah & Basrah): Karena keterbatasan hadis yang dapat diakses, menggunakan akal (ra’yu) dan qiyas lebih luas dalam penggalian hukum. Imam Abu Hanifah mendukungnya.

D. Masa Pembukuan dan Kodifikasi (850–1200 M)

Pada periode ini, ilmu Ushul Fiqih dikodifikasikan menjadi ilmu yang sistematis. Beberapa kitab utama yang menjadi rujukan dalam Ushul Fiqih ditulis oleh para ulama besar:

  1. Al-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i (w. 820 M) → Kitab pertama yang membahas Ushul Fiqih secara sistematis.
  2. Al-Mu’tamad oleh Abu Husain Al-Basri (w. 1085 M) → Mengembangkan konsep dalam mazhab Mu’tazilah.
  3. Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali (w. 1111 M) → Menyusun Ushul Fiqih dalam kerangka logika filsafat.
  4. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam oleh Al-Amidi (w. 1233 M) → Menyatukan berbagai pendekatan dalam Ushul Fiqih.

E. Masa Kemunduran dan Modernisasi (1200 M – Sekarang)

Setelah abad ke-12, perkembangan Ushul Fiqih mengalami stagnasi karena dominasi taklid (mengikuti pendapat ulama tanpa melakukan ijtihad). Namun, pada abad ke-19 dan 20, muncul gerakan reformasi Islam yang menekankan kembali pentingnya ijtihad dalam merespons perkembangan zaman, seperti gerakan Muhammad Abduh dan Rashid Rida di Mesir.

2. Mazhab-Mazhab Hukum Islam

Mazhab dalam hukum Islam berkembang karena perbedaan metodologi dalam memahami dan menafsirkan sumber-sumber hukum Islam. Berikut adalah empat mazhab utama dalam Islam Sunni:

A. Mazhab Hanafi

  • Pendiri: Imam Abu Hanifah (699–767 M)
  • Ciri Khas: Mengutamakan qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum) dalam penggalian hukum.
  • Penyebaran: Turki, Pakistan, India, Afghanistan, Mesir.

B. Mazhab Maliki

  • Pendiri: Imam Malik bin Anas (711–795 M)
  • Ciri Khas: Berpegang teguh pada amal (praktik) penduduk Madinah sebagai sumber hukum, selain Al-Qur’an dan Hadis.
  • Penyebaran: Maroko, Aljazair, Tunisia, Sudan, sebagian Afrika Barat.

C. Mazhab Syafi’i

  • Pendiri: Imam Asy-Syafi’i (767–820 M)
  • Ciri Khas: Menekankan metode istidlal (penalaran) yang sistematis dengan mendahulukan Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas.
  • Penyebaran: Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman.

D. Mazhab Hanbali

  • Pendiri: Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M)
  • Ciri Khas: Mengutamakan Hadis sebagai sumber hukum utama dan sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas.
  • Penyebaran: Arab Saudi, Qatar, sebagian wilayah Suriah.

Selain mazhab Sunni, terdapat pula mazhab dalam Islam Syi’ah, seperti:

  • Mazhab Ja’fari (dikembangkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, 702–765 M), yang banyak dianut oleh penganut Syi’ah di Iran dan Irak.
  • Mazhab Zaidiyah, yang berkembang di Yaman.

Kesimpulan

Sejarah Islam dan kebutuhan umat untuk menangani persoalan hukum yang terus berkembang memengaruhi perkembangan Ushul Fiqih. Para ulama dari berbagai mazhab hukum Islam telah membuat metodologi hukum yang sistematis, yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dan berubah seiring zaman.
Perbedaan mazhab dalam hukum Islam menunjukkan kekayaan intelektual Islam, bukan sebagai penyebab konflik, tetapi sebagai bentuk fleksibilitas hukum Islam yang mempertahankan prinsip syariat. Oleh karena itu, memahami Ushul Fiqih dan mazhab-mazhab Islam merupakan langkah penting untuk menghargai keanekaragaman pemikiran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar