Senin, 17 Maret 2025

Metode Istinbat dalam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali

Metode Istinbat dalam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali

Oleh : Mukhsin, S.Pd.I., M.Pd.
Ka. Prodi PAI STAI AF Makassar


Abstrak

Artikel ini membahas metode istinbat hukum dalam empat mazhab besar dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Kajian ini bertujuan untuk memahami prinsip-prinsip dasar dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing mazhab dalam menetapkan hukum Islam. Dengan menggunakan metode kualitatif berbasis studi literatur, artikel ini menguraikan sumber-sumber hukum utama dan pendekatan istinbat dalam setiap mazhab. Hasil kajian menunjukkan adanya variasi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas yang mempengaruhi perbedaan fatwa dan praktik hukum di kalangan penganut masing-masing mazhab.

Kata Kunci: Istinbat, Mazhab, Hukum Islam, Fikih, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali

 

Pendahuluan
Metode istinbat hukum merupakan pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam mengeluarkan hukum dari sumber-sumber Islam. Empat mazhab fikih utama dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, memiliki metode yang berbeda dalam menggali hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan metode istinbat yang digunakan dalam masing-masing mazhab serta perbedaannya dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam.

Metodologi Penulisan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka. Data dikumpulkan dari kitab-kitab fikih klasik serta penelitian kontemporer yang membahas metode istinbat dalam masing-masing mazhab. Analisis dilakukan dengan membandingkan prinsip dan pendekatan yang digunakan dalam setiap mazhab.

Metode Istinbat dalam Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi merupakan salah satu mazhab fiqh dalam Islam yang dikenal dengan pendekatan rasionalitasnya dalam menetapkan hukum atau beristinbat. Pendekatan ini berakar pada prinsip bahwa hukum harus mencerminkan keadilan dan kemaslahatan sesuai dengan konteks sosial yang ada. Berikut adalah metode utama yang digunakan dalam istinbat hukum dalam Mazhab Hanafi:

1. Al-Qur'an – Sumber Utama Hukum

Al-Qur'an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Mazhab Hanafi. Segala hukum yang diambil harus selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an. Jika suatu hukum memiliki dalil yang eksplisit dalam Al-Qur'an, maka hukum tersebut bersifat final dan tidak dapat digantikan oleh sumber lain. Para ulama Hanafi juga menekankan pentingnya memahami konteks ayat, sebab turunnya (asbabun nuzul), serta bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Sunnah – Hadis yang Sahih dan Masyhur sebagai Dasar Hukum

Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Namun, Mazhab Hanafi dikenal dengan selektivitasnya dalam menerima hadis sebagai dasar hukum. Mereka lebih mengutamakan hadis yang memiliki sanad yang kuat, mutawatir, atau masyhur, dan lebih berhati-hati dalam menggunakan hadis ahad—terutama jika bertentangan dengan prinsip keadilan atau qiyas. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi hukum dan menghindari penyimpangan akibat hadis yang kurang valid.

3. Ijma' – Kesepakatan Ulama dengan Selektivitas yang Ketat

Ijma' atau kesepakatan para ulama merupakan salah satu sumber hukum yang diakui dalam Mazhab Hanafi. Namun, mereka menerapkan standar ketat dalam menerima ijma'. Hanya ijma' yang terjadi di kalangan sahabat yang dianggap memiliki kekuatan hukum yang kuat. Ijma’ ulama setelah masa sahabat dipertimbangkan dengan lebih hati-hati, terutama jika bertentangan dengan dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah yang lebih kuat.

4. Qiyas – Penggunaan Analog Hukum Secara Luas

Mazhab Hanafi terkenal dengan penggunaan qiyas (analogi) dalam istinbat hukum. Qiyas digunakan ketika tidak ditemukan hukum yang jelas dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma'. Proses qiyas dalam Mazhab Hanafi didasarkan pada pencarian 'illah (sebab hukum) yang kuat dan memiliki kemiripan dengan kasus yang sudah ada hukumnya. Contohnya, hukum haramnya khamar (minuman keras) diperluas dengan qiyas untuk mencakup narkotika, karena keduanya memiliki 'illah yang sama, yaitu menyebabkan hilangnya akal.

5. Istihsan – Penyesuaian Hukum Berdasarkan Maslahat

Istihsan merupakan metode yang memungkinkan seorang mujtahid untuk meninggalkan qiyas yang tampak dominan demi maslahat yang lebih besar. Istihsan digunakan ketika penerapan qiyas secara ketat dianggap akan membawa ketidakadilan atau kesulitan bagi masyarakat. Contoh penerapan istihsan adalah dalam hukum jual beli salam (pemesanan barang dengan pembayaran di muka). Secara qiyas, jual beli ini seharusnya tidak sah karena barang belum ada, tetapi diizinkan demi kemaslahatan ekonomi.

6. Urf – Adat yang Tidak Bertentangan dengan Syariat

Mazhab Hanafi juga mengakui urf (adat kebiasaan) sebagai sumber hukum selama tidak bertentangan dengan syariat. Urf dianggap penting karena dapat memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum sesuai dengan realitas masyarakat. Misalnya, dalam sistem akad jual beli atau pernikahan, beberapa aturan yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah dapat mengikuti kebiasaan masyarakat setempat, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

 

Mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab yang memiliki pendekatan sistematis dalam beristinbat hukum. Mereka mengutamakan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih, tetapi juga memberikan ruang bagi rasionalitas melalui qiyas, istihsan, dan urf. Dengan pendekatan ini, hukum dalam Mazhab Hanafi menjadi lebih fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman serta kondisi sosial masyarakat.

Metode Istinbat dalam Mazhab Maliki

Mazhab Maliki merupakan salah satu dari empat mazhab utama dalam fikih Islam yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (711–795 M). Salah satu karakteristik utama mazhab ini adalah penekanannya pada amal ahli Madinah sebagai sumber hukum yang kuat. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Madinah sebagai kota tempat Rasulullah ﷺ tinggal dan mendidik para sahabat merupakan sumber hukum yang otoritatif.

Berikut adalah metode istinbat (penggalian hukum) dalam Mazhab Maliki:

1. Al-Qur'an

Sebagai sumber hukum utama dalam Islam, Al-Qur'an menjadi landasan utama dalam Mazhab Maliki. Setiap hukum yang ditetapkan harus berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur'an, baik yang bersifat qat'i (jelas dan tidak bisa ditakwil) maupun yang membutuhkan penafsiran (zhanni).

Dalam memahami Al-Qur'an, Imam Malik menggunakan pendekatan mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan dari suatu teks) serta mempertimbangkan sabab nuzul (konteks turunnya ayat). Selain itu, amal ahli Madinah sering digunakan untuk menafsirkan atau menentukan makna praktis dari suatu ayat.

2. Sunnah (Hadis yang Diamalkan oleh Ahli Madinah)

Mazhab Maliki sangat menekankan hadis Nabi ﷺ yang diamalkan secara turun-temurun oleh penduduk Madinah. Imam Malik menganggap bahwa praktik penduduk Madinah merupakan refleksi dari ajaran Rasulullah ﷺ yang paling otentik karena mereka adalah generasi yang paling dekat dengan beliau.

Selain itu, Imam Malik lebih mengutamakan hadis mursal dan hadis amal (yang secara praktik diamalkan oleh penduduk Madinah) dibandingkan dengan hadis ahad yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Jika terdapat hadis yang bertentangan dengan amal ahli Madinah, maka hadis tersebut dianggap lemah atau tidak diamalkan.

3. Ijma' (Konsensus Ulama, Termasuk Amal Ahli Madinah)

Ijma' dalam Mazhab Maliki mencakup konsensus ulama secara umum serta ijma' ahlul Madinah (kesepakatan ulama Madinah). Imam Malik berpendapat bahwa jika para ulama Madinah sepakat atas suatu hukum, maka hal tersebut memiliki otoritas yang tinggi karena mereka merupakan pewaris langsung dari sunnah Nabi ﷺ.

Ijma' ahli Madinah lebih diutamakan dibandingkan dengan ijma' ulama di luar Madinah, terutama dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah yang telah menjadi kebiasaan di kota tersebut.

4. Qiyas (Analogi) – Digunakan secara Selektif

Qiyas merupakan metode istinbat yang digunakan dengan membandingkan suatu kasus yang belum memiliki ketentuan hukum dengan kasus yang sudah ada hukumnya berdasarkan illat (sebab hukum).

Namun, dalam Mazhab Maliki, qiyas digunakan secara selektif dan tidak digunakan jika bertentangan dengan amal ahli Madinah atau prinsip maslahah mursalah. Imam Malik lebih memilih maslahah mursalah dibandingkan dengan qiyas apabila terdapat pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar.

5. Maslahah Mursalah (Prinsip Kemaslahatan yang Digunakan Secara Luas)

Maslahah mursalah adalah metode yang menekankan pada manfaat dan kesejahteraan umat tanpa adanya dalil khusus yang mendukung atau menolaknya. Mazhab Maliki banyak menggunakan maslahah mursalah untuk menetapkan hukum dalam bidang muamalah, siyasah syar’iyyah (politik Islam), dan kebijakan publik.

Prinsip ini digunakan dengan beberapa syarat:

  • Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
  • Harus membawa manfaat yang jelas dan tidak spekulatif.
  • Bersifat umum dan menyeluruh bagi masyarakat.

Contoh penerapan maslahah mursalah adalah pembukuan Al-Qur’an, pencetakan mata uang, serta regulasi dalam administrasi pemerintahan Islam.

6. Istihsan (Pertimbangan Keringanan Hukum)

Istihsan adalah metode yang digunakan dalam Mazhab Maliki untuk memberikan kelonggaran hukum dengan mengesampingkan hukum qiyas yang umum demi keadilan dan kemaslahatan yang lebih besar.

Imam Malik menggunakan istihsan dalam berbagai situasi, seperti:

  • Mengutamakan adat kebiasaan lokal yang tidak bertentangan dengan syariat.
  • Meringankan beban hukum dalam keadaan darurat atau kondisi tertentu.

Misalnya, dalam jual beli istijrar (pembelian bertahap tanpa akad di awal), meskipun dalam qiyas dianggap tidak sah, namun dalam praktiknya diterima karena kemaslahatan ekonomi yang lebih besar.

Mazhab Maliki memiliki karakteristik yang khas dalam metode istinbat hukum, terutama dengan mengedepankan amal ahli Madinah, maslahah mursalah, dan istihsan. Pendekatan ini menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab yang fleksibel dalam urusan muamalah dan kebijakan publik, namun tetap konservatif dalam urusan ibadah yang berkaitan dengan tradisi Rasulullah ﷺ dan penduduk Madinah.

Pendekatan yang menekankan praktik masyarakat Madinah menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab yang berorientasi pada tradisi hukum Islam klasik, tetapi tetap mampu beradaptasi dengan perubahan zaman melalui penerapan maslahah dan istihsan

Metode Istinbat dalam Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i adalah salah satu dari empat mazhab utama dalam fikih Islam yang dikembangkan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (767–820 M). Mazhab ini terkenal dengan pendekatan sistematis dalam menyusun ushul fikih, yaitu kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali hukum dari sumber-sumber Islam. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai metode istinbat (penetapan hukum) dalam Mazhab Syafi'i:

1. Al-Qur'an sebagai Sumber Utama Hukum

Dalam Mazhab Syafi'i, Al-Qur'an adalah sumber hukum tertinggi. Setiap hukum yang diambil harus merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an sebagai pedoman utama. Beberapa prinsip dalam memahami Al-Qur'an menurut Mazhab Syafi'i meliputi:

  • Pemahaman literal (zhahir): Jika makna ayat jelas, maka hukum diambil langsung dari teks tanpa interpretasi tambahan.
  • Penafsiran kontekstual: Jika suatu ayat bersifat umum atau membutuhkan penjelasan lebih lanjut, maka ditafsirkan dengan bantuan sumber lain seperti hadis.
  • Naskh (pembatalan hukum sebelumnya): Jika ada ayat yang membatalkan ayat lain (nasikh dan mansukh), maka ayat yang lebih baru dijadikan pedoman.

2. Sunnah sebagai Sumber Kedua Hukum

Mazhab Syafi'i sangat menekankan sunnah dalam istinbat hukum. Imam Syafi'i sendiri menulis kitab Ar-Risalah, yang merupakan salah satu karya awal dalam ilmu ushul fikih yang menegaskan kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah yang digunakan dalam Mazhab Syafi'i adalah:

  • Sunnah maqbulah (diterima): Sunnah yang sahih dan dapat dijadikan dasar hukum, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan Nabi Muhammad ﷺ.
  • Sunnah mutawatir dan ahad: Imam Syafi'i menerima hadis mutawatir tanpa syarat, sedangkan hadis ahad diterima jika perawinya terpercaya dan sanadnya bersambung.

3. Ijma' sebagai Landasan Hukum yang Kuat

Ijma' adalah kesepakatan para ulama dalam suatu generasi mengenai suatu hukum. Mazhab Syafi'i mengakui ijma' sebagai sumber hukum yang kuat setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, Imam Syafi'i lebih menekankan ijma' sahabat dibandingkan dengan ijma' ulama dari generasi setelahnya. Beberapa prinsip penting dalam penggunaan ijma' dalam Mazhab Syafi'i:

  • Ijma' harus berdasarkan dalil yang sahih: Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an atau Sunnah.
  • Ijma' hanya diterima jika disepakati oleh seluruh ulama: Tidak cukup hanya sebagian besar ulama.

4. Qiyas dalam Menentukan Hukum Baru

Qiyas adalah metode analogi dalam menentukan hukum ketika tidak ada dalil eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Imam Syafi'i banyak menggunakan qiyas untuk menjawab permasalahan hukum yang belum ada ketentuannya. Unsur-unsur qiyas dalam Mazhab Syafi'i meliputi:

  • Ashl (pokok): Sumber hukum asal yang memiliki ketetapan dalam Al-Qur'an atau Sunnah.
  • Far' (cabang): Kasus baru yang belum memiliki ketetapan hukum.
  • Illah (sebab hukum): Faktor yang menjadi dasar kesamaan antara ashl dan far'.
  • Hukm (keputusan hukum): Hukum yang ditetapkan pada far' berdasarkan analogi dengan ashl.

Contoh penerapan qiyas dalam Mazhab Syafi'i:

  • Hukum haramnya minuman keras (khamr) berdasarkan Al-Qur'an, lalu dikiaskan dengan narkotika karena memiliki illah yang sama, yaitu memabukkan.

5. Istidlal sebagai Metode Tambahan

Istidlal dalam Mazhab Syafi'i digunakan sebagai metode tambahan dalam istinbat hukum ketika tidak ditemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an, Sunnah, ijma', atau qiyas. Beberapa bentuk istidlal yang diterima dalam Mazhab Syafi'i meliputi:

  • Sadd al-Dzari’ah (mencegah kemudaratan): Digunakan secara terbatas, misalnya melarang sesuatu yang mubah jika dapat membawa kepada keharaman.
  • Istishab (kelangsungan hukum sebelumnya): Prinsip mempertahankan status hukum asal hingga ada dalil yang mengubahnya.
  • Urf (adat yang berlaku di masyarakat): Diakui selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Mazhab Syafi'i menggunakan metode istinbat yang sistematis dan berbasis pada dalil yang kuat. Urutan sumber hukum dalam Mazhab Syafi'i adalah:

  1. Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum.
  2. Sunnah sebagai sumber kedua yang harus sahih dan dapat diterima.
  3. Ijma' sebagai kesepakatan ulama yang memiliki dasar kuat.
  4. Qiyas sebagai metode analogi dalam menetapkan hukum baru.
  5. Istidlal sebagai metode tambahan yang digunakan secara terbatas.

Pendekatan ini menjadikan Mazhab Syafi'i sebagai mazhab yang sistematis, moderat, dan berbasis dalil yang kuat dalam istinbat hukum

Metode Istinbat dalam Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali adalah salah satu dari empat mazhab dalam fikih Sunni yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H). Mazhab ini dikenal dengan pendekatannya yang sangat berorientasi pada teks (nash) dan lebih berhati-hati dalam menggunakan rasionalitas dibandingkan mazhab lainnya. Dalam menggali hukum (istinbat), mazhab Hanbali memiliki metode khusus yang mencerminkan komitmen kuat terhadap sumber-sumber utama syariat Islam. Berikut adalah metode istinbat yang digunakan dalam mazhab Hanbali:

1. Al-Qur'an – Sumber Utama Hukum

Al-Qur'an adalah dasar utama dalam setiap penetapan hukum di mazhab Hanbali. Jika ada permasalahan hukum, maka pertama-tama akan dicari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas (muhkamat) menjadi dasar utama, sementara ayat-ayat yang bersifat global (mutasyabihat) ditafsirkan dengan mengacu kepada ayat-ayat lain yang lebih jelas atau kepada hadis.

Imam Ahmad bin Hanbal menolak penggunaan penafsiran yang bersifat spekulatif atau yang terlalu mengandalkan akal jika tidak didukung oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu, Al-Qur'an dipandang sebagai pedoman utama dalam seluruh aspek hukum Islam dalam mazhab Hanbali.

2. Sunnah – Menerima Hadis Dhaif dalam Kondisi Tertentu

Mazhab Hanbali memiliki kecenderungan kuat dalam menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis yang terkenal, dan ia sangat mengutamakan hadis dalam pengambilan hukum. Beberapa prinsip utama terkait Sunnah dalam mazhab Hanbali adalah:

  • Mengutamakan hadis dibandingkan qiyas dan ra’yu
    Jika ditemukan hadis yang sahih atau hasan, maka hadis tersebut lebih diutamakan dibandingkan dengan hasil ijtihad berdasarkan qiyas atau pendapat pribadi.
  • Menerima hadis dhaif dengan syarat
    Dalam kondisi tertentu, hadis dhaif (lemah) dapat dijadikan hujjah jika tidak ada hadis sahih atau hasan yang bertentangan dengannya. Hadis dhaif yang diterima biasanya yang tidak berkaitan dengan akidah dan tidak terlalu lemah dalam sanadnya.
  • Menolak hadis mursal dan munqathi’ dalam kebanyakan kasus
    Imam Ahmad lebih selektif terhadap hadis yang sanadnya terputus, kecuali jika hadis tersebut memiliki penguat lain yang mendukungnya.

Pendekatan ini menjadikan mazhab Hanbali sebagai mazhab yang paling luas dalam penggunaan hadis dibandingkan dengan mazhab fikih lainnya.

3. Ijma’ – Hanya Ijma’ Sahabat yang Diterima

Mazhab Hanbali membatasi penerimaan ijma' hanya pada ijma' sahabat. Imam Ahmad berpendapat bahwa setelah generasi sahabat, kesepakatan umat sulit untuk dicapai secara mutlak, sehingga ijma' yang terjadi setelah sahabat tidak dianggap sebagai sumber hukum yang pasti.

Jika ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat, maka Imam Ahmad akan memilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, jika ada kesepakatan di kalangan sahabat, maka ijma' ini dianggap sebagai dalil yang kuat dan mengikat.

4. Qiyas – Digunakan dengan Kehati-hatian

Mazhab Hanbali menerima qiyas sebagai metode istinbat, tetapi penggunaannya sangat terbatas. Imam Ahmad lebih memilih hadis yang dhaif daripada menggunakan qiyas. Ia hanya menggunakan qiyas jika benar-benar tidak ada dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma' sahabat.

Qiyas yang digunakan dalam mazhab Hanbali harus memenuhi beberapa syarat:

  1. Tidak bertentangan dengan nash – Jika ada teks yang jelas, qiyas tidak boleh digunakan.
  2. Berdasarkan illat yang kuat – Harus ada kesamaan sebab hukum yang benar-benar jelas dan logis.
  3. Tidak dipaksakan – Imam Ahmad lebih memilih berhenti pada ketiadaan dalil daripada memaksakan qiyas yang lemah.

Dengan pendekatan ini, mazhab Hanbali menjadi lebih berhati-hati dalam menetapkan hukum berbasis analogi.

5. Fatwa Sahabat – Memiliki Kedudukan Penting

Mazhab Hanbali memberi kedudukan yang tinggi terhadap fatwa sahabat. Jika tidak ditemukan hukum dalam Al-Qur'an atau Sunnah, maka pendapat para sahabat dapat dijadikan rujukan.

Namun, ada beberapa prinsip utama dalam penggunaannya:

  • Jika para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah, maka mazhab Hanbali akan memilih pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
  • Jika hanya satu sahabat yang memberikan fatwa dan tidak ada yang menentangnya, maka fatwa itu dapat dijadikan hukum.
  • Jika pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat lebih diutamakan.

Imam Ahmad menghormati kedudukan sahabat karena mereka adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi Muhammad ﷺ dan memahami hukum Islam secara langsung dari beliau.

6. Maslahah Mursalah – Digunakan dengan Selektivitas Tinggi

Maslahah mursalah adalah konsep kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash tetapi dianggap membawa manfaat umum bagi umat. Mazhab Hanbali menerima konsep ini tetapi dengan sangat selektif.

Syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah dalam mazhab Hanbali adalah:

  1. Tidak bertentangan dengan nash – Jika ada dalil yang melarangnya, maka tidak dapat digunakan.
  2. Memiliki manfaat yang nyata dan jelas – Maslahah yang diambil harus benar-benar terbukti membawa kebaikan bagi umat Islam.
  3. Tidak bersifat spekulatif – Tidak boleh menggunakan maslahah yang hanya berdasarkan perkiraan tanpa dasar yang kuat.

Mazhab Hanbali lebih berhati-hati dalam menggunakan maslahah mursalah dibandingkan dengan mazhab Maliki, yang lebih luas dalam menerapkannya.

Metode istinbat dalam mazhab Hanbali menegaskan bahwa mazhab ini adalah mazhab yang paling berpegang teguh pada dalil-dalil tekstual dan sangat berhati-hati dalam menggunakan akal dan analogi. Mazhab ini lebih memilih hadis dhaif daripada qiyas, membatasi ijma' hanya pada sahabat, dan hanya menggunakan maslahah mursalah dengan selektivitas tinggi. Dengan pendekatan ini, mazhab Hanbali mempertahankan keautentikan hukum Islam berdasarkan sumber-sumber utama syariat, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah

Kesimpulan
Keempat mazhab memiliki metode istinbat yang berbeda sesuai dengan prinsip dasar yang mereka pegang. Mazhab Hanafi lebih rasional dan fleksibel dengan istihsan dan urf, sedangkan Mazhab Maliki menekankan amal ahli Madinah. Mazhab Syafi'i lebih sistematis dengan qiyas sebagai metode utama, sedangkan Mazhab Hanbali lebih tekstual dengan menekankan Sunnah. Perbedaan metode ini menunjukkan keberagaman dalam hukum Islam yang tetap berakar pada sumber yang sama.

Referensi

  1. Al-Sarakhsi, Muhammad ibn Ahmad. (1993). Usul al-Sarakhsi. Dar al-Ma'rifah.
  2. Al-Qarafi, Shihab al-Din. (1998). Al-Furuq. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
  3. Al-Juwayni, Abdul Malik. (2001). Al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Dar al-Wafa'.
  4. Ibn Qudamah. (2004). Rawdah al-Nazir wa Jannah al-Munazir. Muassasah al-Risalah.
  5. Wahbah al-Zuhayli. (2010). Usul al-Fiqh al-Islami. Dar al-Fikr.

 Rev.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar