Metode Istinbat dalam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali
Abstrak
Artikel ini membahas metode istinbat hukum dalam empat mazhab besar dalam
Islam: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Kajian ini bertujuan untuk
memahami prinsip-prinsip dasar dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing
mazhab dalam menetapkan hukum Islam. Dengan menggunakan metode kualitatif
berbasis studi literatur, artikel ini menguraikan sumber-sumber hukum utama dan
pendekatan istinbat dalam setiap mazhab. Hasil kajian menunjukkan adanya
variasi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas yang
mempengaruhi perbedaan fatwa dan praktik hukum di kalangan penganut
masing-masing mazhab.
Kata Kunci: Istinbat, Mazhab, Hukum Islam, Fikih, Hanafi, Maliki,
Syafi'i, Hanbali
Pendahuluan
Metode istinbat hukum merupakan pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam
mengeluarkan hukum dari sumber-sumber Islam. Empat mazhab fikih utama dalam
Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, memiliki metode yang berbeda
dalam menggali hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah. Artikel ini bertujuan untuk
menguraikan metode istinbat yang digunakan dalam masing-masing mazhab serta
perbedaannya dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam.
Metodologi Penulisan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka.
Data dikumpulkan dari kitab-kitab fikih klasik serta penelitian kontemporer
yang membahas metode istinbat dalam masing-masing mazhab. Analisis dilakukan
dengan membandingkan prinsip dan pendekatan yang digunakan dalam setiap mazhab.
Metode Istinbat dalam Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi merupakan salah satu mazhab fiqh dalam Islam yang dikenal dengan
pendekatan rasionalitasnya dalam menetapkan hukum atau beristinbat. Pendekatan
ini berakar pada prinsip bahwa hukum harus mencerminkan keadilan dan
kemaslahatan sesuai dengan konteks sosial yang ada. Berikut adalah metode utama
yang digunakan dalam istinbat hukum dalam Mazhab Hanafi:
1.
Al-Qur'an – Sumber Utama Hukum
Al-Qur'an merupakan sumber hukum
tertinggi dalam Mazhab Hanafi. Segala hukum yang diambil harus selaras dengan
ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an. Jika suatu hukum memiliki dalil yang
eksplisit dalam Al-Qur'an, maka hukum tersebut bersifat final dan tidak dapat
digantikan oleh sumber lain. Para ulama Hanafi juga menekankan pentingnya
memahami konteks ayat, sebab turunnya (asbabun nuzul), serta bagaimana
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Sunnah – Hadis yang Sahih dan Masyhur sebagai Dasar Hukum
Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi
sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Namun, Mazhab Hanafi dikenal dengan
selektivitasnya dalam menerima hadis sebagai dasar hukum. Mereka lebih mengutamakan
hadis yang memiliki sanad yang kuat, mutawatir, atau masyhur, dan lebih
berhati-hati dalam menggunakan hadis ahad—terutama jika bertentangan dengan
prinsip keadilan atau qiyas. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi hukum
dan menghindari penyimpangan akibat hadis yang kurang valid.
3.
Ijma' – Kesepakatan Ulama dengan Selektivitas yang Ketat
Ijma' atau kesepakatan para ulama
merupakan salah satu sumber hukum yang diakui dalam Mazhab Hanafi. Namun,
mereka menerapkan standar ketat dalam menerima ijma'. Hanya ijma' yang terjadi
di kalangan sahabat yang dianggap memiliki kekuatan hukum yang kuat. Ijma’
ulama setelah masa sahabat dipertimbangkan dengan lebih hati-hati, terutama
jika bertentangan dengan dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah yang lebih kuat.
4.
Qiyas – Penggunaan Analog Hukum Secara Luas
Mazhab Hanafi terkenal dengan
penggunaan qiyas (analogi) dalam istinbat hukum. Qiyas digunakan ketika tidak
ditemukan hukum yang jelas dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma'. Proses qiyas
dalam Mazhab Hanafi didasarkan pada pencarian 'illah (sebab hukum) yang kuat
dan memiliki kemiripan dengan kasus yang sudah ada hukumnya. Contohnya, hukum
haramnya khamar (minuman keras) diperluas dengan qiyas untuk mencakup
narkotika, karena keduanya memiliki 'illah yang sama, yaitu menyebabkan
hilangnya akal.
5.
Istihsan – Penyesuaian Hukum Berdasarkan Maslahat
Istihsan merupakan metode yang
memungkinkan seorang mujtahid untuk meninggalkan qiyas yang tampak dominan demi
maslahat yang lebih besar. Istihsan digunakan ketika penerapan qiyas secara
ketat dianggap akan membawa ketidakadilan atau kesulitan bagi masyarakat.
Contoh penerapan istihsan adalah dalam hukum jual beli salam (pemesanan barang
dengan pembayaran di muka). Secara qiyas, jual beli ini seharusnya tidak sah
karena barang belum ada, tetapi diizinkan demi kemaslahatan ekonomi.
6.
Urf – Adat yang Tidak Bertentangan dengan Syariat
Mazhab Hanafi juga mengakui urf
(adat kebiasaan) sebagai sumber hukum selama tidak bertentangan dengan syariat.
Urf dianggap penting karena dapat memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum
sesuai dengan realitas masyarakat. Misalnya, dalam sistem akad jual beli atau
pernikahan, beberapa aturan yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an
dan Sunnah dapat mengikuti kebiasaan masyarakat setempat, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab
yang memiliki pendekatan sistematis dalam beristinbat hukum. Mereka
mengutamakan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih, tetapi juga memberikan
ruang bagi rasionalitas melalui qiyas, istihsan, dan urf. Dengan pendekatan
ini, hukum dalam Mazhab Hanafi menjadi lebih fleksibel dan mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan zaman serta kondisi sosial masyarakat.
Metode
Istinbat dalam Mazhab Maliki
Mazhab Maliki merupakan salah satu dari empat
mazhab utama dalam fikih Islam yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (711–795
M). Salah satu karakteristik utama mazhab ini adalah penekanannya pada amal ahli Madinah sebagai sumber hukum
yang kuat. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Madinah sebagai kota tempat
Rasulullah ﷺ tinggal dan mendidik para sahabat merupakan sumber hukum yang
otoritatif.
Berikut adalah metode istinbat (penggalian
hukum) dalam Mazhab Maliki:
1. Al-Qur'an
Sebagai sumber hukum utama dalam Islam,
Al-Qur'an menjadi landasan utama dalam Mazhab Maliki. Setiap hukum yang
ditetapkan harus berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur'an, baik yang bersifat qat'i (jelas dan tidak bisa ditakwil)
maupun yang membutuhkan penafsiran (zhanni).
Dalam memahami Al-Qur'an, Imam Malik
menggunakan pendekatan mafhum mukhalafah
(pemahaman kebalikan dari suatu teks) serta mempertimbangkan sabab nuzul (konteks turunnya ayat).
Selain itu, amal ahli Madinah sering digunakan untuk menafsirkan atau
menentukan makna praktis dari suatu ayat.
2. Sunnah (Hadis yang Diamalkan oleh Ahli Madinah)
Mazhab Maliki sangat menekankan hadis Nabi ﷺ
yang diamalkan secara turun-temurun oleh penduduk Madinah. Imam Malik
menganggap bahwa praktik penduduk Madinah merupakan refleksi dari ajaran
Rasulullah ﷺ yang paling otentik karena mereka adalah generasi yang paling
dekat dengan beliau.
Selain itu, Imam Malik lebih mengutamakan hadis mursal dan hadis amal (yang secara praktik
diamalkan oleh penduduk Madinah) dibandingkan dengan hadis ahad yang
bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Jika terdapat hadis yang
bertentangan dengan amal ahli Madinah, maka hadis tersebut dianggap lemah atau
tidak diamalkan.
3. Ijma' (Konsensus Ulama, Termasuk Amal Ahli Madinah)
Ijma' dalam Mazhab Maliki mencakup konsensus
ulama secara umum serta ijma' ahlul
Madinah (kesepakatan ulama Madinah). Imam Malik berpendapat bahwa jika
para ulama Madinah sepakat atas suatu hukum, maka hal tersebut memiliki
otoritas yang tinggi karena mereka merupakan pewaris langsung dari sunnah Nabi
ﷺ.
Ijma' ahli Madinah lebih diutamakan
dibandingkan dengan ijma' ulama di luar Madinah, terutama dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah yang telah menjadi kebiasaan di kota
tersebut.
4. Qiyas (Analogi) – Digunakan secara Selektif
Qiyas merupakan metode istinbat yang digunakan
dengan membandingkan suatu kasus yang belum memiliki ketentuan hukum dengan
kasus yang sudah ada hukumnya berdasarkan illat (sebab hukum).
Namun, dalam Mazhab Maliki, qiyas digunakan
secara selektif dan tidak digunakan jika bertentangan dengan amal ahli Madinah
atau prinsip maslahah mursalah.
Imam Malik lebih memilih maslahah mursalah dibandingkan dengan qiyas apabila
terdapat pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar.
5. Maslahah Mursalah (Prinsip Kemaslahatan yang
Digunakan Secara Luas)
Maslahah mursalah adalah metode yang
menekankan pada manfaat dan kesejahteraan umat tanpa adanya dalil khusus yang
mendukung atau menolaknya. Mazhab Maliki banyak menggunakan maslahah mursalah
untuk menetapkan hukum dalam bidang muamalah,
siyasah syar’iyyah (politik Islam), dan kebijakan publik.
Prinsip ini digunakan dengan beberapa syarat:
- Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
- Harus membawa manfaat yang jelas dan tidak
spekulatif.
- Bersifat umum dan menyeluruh bagi masyarakat.
Contoh penerapan maslahah mursalah adalah pembukuan Al-Qur’an, pencetakan mata uang, serta
regulasi dalam administrasi pemerintahan Islam.
6. Istihsan (Pertimbangan Keringanan Hukum)
Istihsan adalah metode yang digunakan dalam Mazhab
Maliki untuk memberikan kelonggaran hukum
dengan mengesampingkan hukum qiyas yang umum demi keadilan dan kemaslahatan
yang lebih besar.
Imam Malik menggunakan istihsan dalam berbagai
situasi, seperti:
- Mengutamakan adat kebiasaan lokal yang tidak
bertentangan dengan syariat.
- Meringankan beban hukum dalam
keadaan darurat atau kondisi tertentu.
Misalnya, dalam jual beli istijrar (pembelian bertahap tanpa akad
di awal), meskipun dalam qiyas dianggap tidak sah, namun dalam praktiknya
diterima karena kemaslahatan ekonomi yang lebih besar.
Mazhab Maliki memiliki karakteristik yang khas dalam metode istinbat hukum,
terutama dengan mengedepankan amal ahli
Madinah, maslahah mursalah, dan istihsan. Pendekatan ini menjadikan
Mazhab Maliki sebagai mazhab yang fleksibel
dalam urusan muamalah dan kebijakan publik, namun tetap konservatif dalam urusan ibadah yang
berkaitan dengan tradisi Rasulullah ﷺ dan penduduk Madinah.
Pendekatan
yang menekankan praktik masyarakat Madinah menjadikan Mazhab Maliki sebagai
mazhab yang berorientasi pada tradisi
hukum Islam klasik, tetapi tetap mampu beradaptasi dengan perubahan zaman melalui
penerapan maslahah dan istihsan
Metode
Istinbat dalam Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i adalah salah satu dari empat
mazhab utama dalam fikih Islam yang dikembangkan oleh Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi'i (767–820 M). Mazhab ini terkenal dengan pendekatan sistematis dalam
menyusun ushul fikih, yaitu kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali hukum
dari sumber-sumber Islam. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai metode
istinbat (penetapan hukum) dalam Mazhab Syafi'i:
1. Al-Qur'an sebagai Sumber Utama Hukum
Dalam Mazhab Syafi'i, Al-Qur'an adalah sumber
hukum tertinggi. Setiap hukum yang diambil harus merujuk pada ayat-ayat
Al-Qur'an sebagai pedoman utama. Beberapa prinsip dalam memahami Al-Qur'an
menurut Mazhab Syafi'i meliputi:
- Pemahaman literal (zhahir): Jika
makna ayat jelas, maka hukum diambil langsung dari teks tanpa interpretasi
tambahan.
- Penafsiran kontekstual: Jika
suatu ayat bersifat umum atau membutuhkan penjelasan lebih lanjut, maka
ditafsirkan dengan bantuan sumber lain seperti hadis.
- Naskh (pembatalan hukum sebelumnya): Jika ada
ayat yang membatalkan ayat lain (nasikh dan mansukh), maka ayat yang lebih
baru dijadikan pedoman.
2. Sunnah sebagai Sumber Kedua Hukum
Mazhab Syafi'i sangat menekankan sunnah dalam
istinbat hukum. Imam Syafi'i sendiri menulis kitab Ar-Risalah, yang merupakan salah satu karya awal dalam ilmu
ushul fikih yang menegaskan kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an. Sunnah yang digunakan dalam Mazhab Syafi'i adalah:
- Sunnah maqbulah (diterima): Sunnah
yang sahih dan dapat dijadikan dasar hukum, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun persetujuan Nabi Muhammad ﷺ.
- Sunnah mutawatir dan ahad: Imam
Syafi'i menerima hadis mutawatir tanpa syarat, sedangkan hadis ahad
diterima jika perawinya terpercaya dan sanadnya bersambung.
3. Ijma' sebagai Landasan Hukum yang Kuat
Ijma' adalah kesepakatan para ulama dalam
suatu generasi mengenai suatu hukum. Mazhab Syafi'i mengakui ijma' sebagai
sumber hukum yang kuat setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, Imam Syafi'i lebih
menekankan ijma' sahabat dibandingkan dengan ijma' ulama dari generasi
setelahnya. Beberapa prinsip penting dalam penggunaan ijma' dalam Mazhab
Syafi'i:
- Ijma' harus berdasarkan dalil yang sahih: Tidak
boleh bertentangan dengan Al-Qur'an atau Sunnah.
- Ijma' hanya diterima jika disepakati oleh seluruh
ulama:
Tidak cukup hanya sebagian besar ulama.
4. Qiyas dalam Menentukan Hukum Baru
Qiyas adalah metode analogi dalam menentukan
hukum ketika tidak ada dalil eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Imam Syafi'i
banyak menggunakan qiyas untuk menjawab permasalahan hukum yang belum ada
ketentuannya. Unsur-unsur qiyas dalam Mazhab Syafi'i meliputi:
- Ashl (pokok): Sumber
hukum asal yang memiliki ketetapan dalam Al-Qur'an atau Sunnah.
- Far' (cabang): Kasus
baru yang belum memiliki ketetapan hukum.
- Illah (sebab hukum): Faktor
yang menjadi dasar kesamaan antara ashl dan far'.
- Hukm (keputusan hukum): Hukum
yang ditetapkan pada far' berdasarkan analogi dengan ashl.
Contoh penerapan qiyas dalam Mazhab Syafi'i:
- Hukum haramnya minuman keras (khamr)
berdasarkan Al-Qur'an, lalu dikiaskan dengan narkotika karena memiliki illah yang sama, yaitu memabukkan.
5. Istidlal sebagai Metode Tambahan
Istidlal dalam Mazhab Syafi'i digunakan
sebagai metode tambahan dalam istinbat hukum ketika tidak ditemukan dalil yang
jelas dari Al-Qur'an, Sunnah, ijma', atau qiyas. Beberapa bentuk istidlal yang
diterima dalam Mazhab Syafi'i meliputi:
- Sadd al-Dzari’ah (mencegah kemudaratan): Digunakan
secara terbatas, misalnya melarang sesuatu yang mubah jika dapat membawa
kepada keharaman.
- Istishab (kelangsungan hukum sebelumnya): Prinsip
mempertahankan status hukum asal hingga ada dalil yang mengubahnya.
- Urf (adat yang berlaku di masyarakat): Diakui
selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Mazhab Syafi'i menggunakan metode istinbat yang sistematis dan berbasis pada
dalil yang kuat. Urutan sumber hukum dalam Mazhab Syafi'i adalah:
- Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum.
- Sunnah sebagai sumber kedua yang
harus sahih dan dapat diterima.
- Ijma' sebagai kesepakatan ulama yang
memiliki dasar kuat.
- Qiyas sebagai metode analogi dalam
menetapkan hukum baru.
- Istidlal sebagai metode tambahan
yang digunakan secara terbatas.
Pendekatan
ini menjadikan Mazhab Syafi'i sebagai mazhab yang sistematis, moderat, dan
berbasis dalil yang kuat dalam istinbat hukum
Metode
Istinbat dalam Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali adalah salah satu
dari empat mazhab dalam fikih Sunni yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
(164–241 H). Mazhab ini dikenal dengan pendekatannya yang sangat berorientasi
pada teks (nash) dan lebih berhati-hati dalam menggunakan rasionalitas
dibandingkan mazhab lainnya. Dalam menggali hukum (istinbat), mazhab Hanbali
memiliki metode khusus yang mencerminkan komitmen kuat terhadap sumber-sumber
utama syariat Islam. Berikut adalah metode istinbat yang digunakan dalam mazhab
Hanbali:
1.
Al-Qur'an – Sumber Utama Hukum
Al-Qur'an adalah dasar utama dalam
setiap penetapan hukum di mazhab Hanbali. Jika ada permasalahan hukum, maka
pertama-tama akan dicari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat yang
memiliki makna yang jelas (muhkamat) menjadi dasar utama, sementara ayat-ayat
yang bersifat global (mutasyabihat) ditafsirkan dengan mengacu kepada ayat-ayat
lain yang lebih jelas atau kepada hadis.
Imam Ahmad bin Hanbal menolak
penggunaan penafsiran yang bersifat spekulatif atau yang terlalu mengandalkan
akal jika tidak didukung oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu, Al-Qur'an
dipandang sebagai pedoman utama dalam seluruh aspek hukum Islam dalam mazhab
Hanbali.
2.
Sunnah – Menerima Hadis Dhaif dalam Kondisi Tertentu
Mazhab Hanbali memiliki
kecenderungan kuat dalam menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an. Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis yang terkenal, dan
ia sangat mengutamakan hadis dalam pengambilan hukum. Beberapa prinsip utama
terkait Sunnah dalam mazhab Hanbali adalah:
- Mengutamakan hadis dibandingkan qiyas dan ra’yu
Jika ditemukan hadis yang sahih atau hasan, maka hadis tersebut lebih diutamakan dibandingkan dengan hasil ijtihad berdasarkan qiyas atau pendapat pribadi. - Menerima hadis dhaif dengan syarat
Dalam kondisi tertentu, hadis dhaif (lemah) dapat dijadikan hujjah jika tidak ada hadis sahih atau hasan yang bertentangan dengannya. Hadis dhaif yang diterima biasanya yang tidak berkaitan dengan akidah dan tidak terlalu lemah dalam sanadnya. - Menolak hadis mursal dan munqathi’ dalam kebanyakan
kasus
Imam Ahmad lebih selektif terhadap hadis yang sanadnya terputus, kecuali jika hadis tersebut memiliki penguat lain yang mendukungnya.
Pendekatan ini menjadikan mazhab
Hanbali sebagai mazhab yang paling luas dalam penggunaan hadis dibandingkan
dengan mazhab fikih lainnya.
3.
Ijma’ – Hanya Ijma’ Sahabat yang Diterima
Mazhab Hanbali membatasi penerimaan
ijma' hanya pada ijma' sahabat. Imam Ahmad berpendapat bahwa setelah generasi
sahabat, kesepakatan umat sulit untuk dicapai secara mutlak, sehingga ijma'
yang terjadi setelah sahabat tidak dianggap sebagai sumber hukum yang pasti.
Jika ada perbedaan pendapat di
kalangan sahabat, maka Imam Ahmad akan memilih pendapat yang lebih dekat dengan
Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, jika ada kesepakatan di kalangan sahabat, maka
ijma' ini dianggap sebagai dalil yang kuat dan mengikat.
4.
Qiyas – Digunakan dengan Kehati-hatian
Mazhab Hanbali menerima qiyas
sebagai metode istinbat, tetapi penggunaannya sangat terbatas. Imam Ahmad lebih
memilih hadis yang dhaif daripada menggunakan qiyas. Ia hanya menggunakan qiyas
jika benar-benar tidak ada dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma' sahabat.
Qiyas yang digunakan dalam mazhab
Hanbali harus memenuhi beberapa syarat:
- Tidak bertentangan dengan nash – Jika ada teks yang jelas, qiyas tidak boleh
digunakan.
- Berdasarkan illat yang kuat – Harus ada kesamaan sebab hukum yang benar-benar
jelas dan logis.
- Tidak dipaksakan
– Imam Ahmad lebih memilih berhenti pada ketiadaan dalil daripada
memaksakan qiyas yang lemah.
Dengan pendekatan ini, mazhab Hanbali
menjadi lebih berhati-hati dalam menetapkan hukum berbasis analogi.
5.
Fatwa Sahabat – Memiliki Kedudukan Penting
Mazhab Hanbali memberi kedudukan
yang tinggi terhadap fatwa sahabat. Jika tidak ditemukan hukum dalam Al-Qur'an
atau Sunnah, maka pendapat para sahabat dapat dijadikan rujukan.
Namun, ada beberapa prinsip utama
dalam penggunaannya:
- Jika para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah,
maka mazhab Hanbali akan memilih pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil
yang ada.
- Jika hanya satu sahabat yang memberikan fatwa dan tidak
ada yang menentangnya, maka fatwa itu dapat dijadikan hukum.
- Jika pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas, maka
pendapat sahabat lebih diutamakan.
Imam Ahmad menghormati kedudukan
sahabat karena mereka adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi Muhammad ﷺ
dan memahami hukum Islam secara langsung dari beliau.
6.
Maslahah Mursalah – Digunakan dengan Selektivitas Tinggi
Maslahah mursalah adalah konsep
kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash tetapi dianggap
membawa manfaat umum bagi umat. Mazhab Hanbali menerima konsep ini tetapi
dengan sangat selektif.
Syarat-syarat penggunaan maslahah
mursalah dalam mazhab Hanbali adalah:
- Tidak bertentangan dengan nash – Jika ada dalil yang melarangnya, maka tidak dapat
digunakan.
- Memiliki manfaat yang nyata dan jelas – Maslahah yang diambil harus benar-benar terbukti
membawa kebaikan bagi umat Islam.
- Tidak bersifat spekulatif – Tidak boleh menggunakan maslahah yang hanya
berdasarkan perkiraan tanpa dasar yang kuat.
Mazhab Hanbali lebih berhati-hati
dalam menggunakan maslahah mursalah dibandingkan dengan mazhab Maliki, yang
lebih luas dalam menerapkannya.
Metode istinbat dalam mazhab Hanbali
menegaskan bahwa mazhab ini adalah mazhab yang paling berpegang teguh pada
dalil-dalil tekstual dan sangat berhati-hati dalam menggunakan akal dan
analogi. Mazhab ini lebih memilih hadis dhaif daripada qiyas, membatasi ijma'
hanya pada sahabat, dan hanya menggunakan maslahah mursalah dengan selektivitas
tinggi. Dengan pendekatan ini, mazhab Hanbali mempertahankan keautentikan hukum
Islam berdasarkan sumber-sumber utama syariat, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah
Kesimpulan
Keempat mazhab memiliki metode istinbat yang berbeda sesuai dengan prinsip
dasar yang mereka pegang. Mazhab Hanafi lebih rasional dan fleksibel dengan
istihsan dan urf, sedangkan Mazhab Maliki menekankan amal ahli Madinah. Mazhab
Syafi'i lebih sistematis dengan qiyas sebagai metode utama, sedangkan Mazhab
Hanbali lebih tekstual dengan menekankan Sunnah. Perbedaan metode ini
menunjukkan keberagaman dalam hukum Islam yang tetap berakar pada sumber yang
sama.
Referensi
- Al-Sarakhsi, Muhammad ibn Ahmad. (1993). Usul
al-Sarakhsi. Dar al-Ma'rifah.
- Al-Qarafi, Shihab al-Din. (1998). Al-Furuq. Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Al-Juwayni, Abdul Malik. (2001). Al-Burhan fi Usul
al-Fiqh. Dar al-Wafa'.
- Ibn Qudamah. (2004). Rawdah al-Nazir wa Jannah
al-Munazir. Muassasah al-Risalah.
- Wahbah al-Zuhayli. (2010). Usul al-Fiqh al-Islami.
Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar