Senin, 03 Maret 2025

Sumber-Sumber Hukum Islam dan Metode Penggalian Hukum

USHUl FIQIH :

Oleh : Mukhsin Sa'ad, S.Pd.I., M.Pd
Ka. Prodi PAI STAI Al Furqan Makassar


Ushul Fiqih: Sumber-Sumber Hukum Islam dan Metode Penggalian Hukum

Abstrak

Ushul Fiqih adalah disiplin ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam (dalil) dan cara menggali hukum syariat. Dalam artikel ini, empat sumber utama hukum Islam. Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas dibahas serta peranannya dalam pembentukan hukum tersebut. Artikel ini menjelaskan bagaimana Ushul Fiqih menjadi kerangka metodologis yang sistematis bagi para ulama untuk menetapkan hukum yang relevan dengan perkembangan zaman sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat. Mereka melakukannya dengan menggunakan pendekatan ilmiah.

Pendahuluan

Hukum Islam, atau yang lebih dikenal sebagai syariat, merupakan sistem hukum yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Syariat mencakup segala aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah (hubungan manusia dengan Allah), muamalah (hubungan antarmanusia), hingga akhlak (etika dan moral). Hukum-hukum ini dirancang untuk mengatur kehidupan manusia agar selaras dengan kehendak Allah SWT dan mencapai kemaslahatan (kebaikan) di dunia dan akhirat.

Namun, untuk memahami dan menggali hukum-hukum tersebut, diperlukan suatu disiplin ilmu yang sistematis dan metodologis. Disiplin ilmu ini dikenal sebagai Ushul Fiqih. Ushul Fiqih tidak hanya membahas sumber-sumber hukum Islam (seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas), tetapi juga membahas metode-metode yang digunakan untuk menafsirkan, menganalisis, dan menerapkan hukum-hukum tersebut dalam konteks kehidupan manusia. Dengan kata lain, Ushul Fiqih berfungsi sebagai "alat" bagi para ulama dan ahli hukum Islam (fuqaha) untuk melakukan ijtihad (penalaran hukum) secara terstruktur dan terukur.


Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan yang mendalam tentang sumber-sumber hukum Islam dan metode penggalian hukum yang digunakan dalam Ushul Fiqih. Selain itu, artikel ini juga akan membahas relevansi Ushul Fiqih dalam kehidupan kontemporer, di mana tantangan dan masalah baru terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman. Dengan memahami Ushul Fiqih, diharapkan pembaca dapat melihat bagaimana hukum Islam tetap relevan dan mampu menjawab tantangan modern tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat.


Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam sering dihadapkan pada berbagai persoalan yang memerlukan jawaban hukum, baik yang bersifat ibadah (seperti tata cara shalat atau puasa) maupun muamalah (seperti transaksi keuangan atau hubungan sosial). Sementara Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam telah memberikan pedoman yang jelas untuk banyak hal, tidak semua persoalan kontemporer dijelaskan secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut. Di sinilah peran Ushul Fiqih menjadi sangat penting.


Ushul Fiqih memberikan kerangka metodologis yang memungkinkan para ulama untuk menggali hukum dari sumber-sumber yang ada dengan menggunakan pendekatan yang sistematis. Misalnya, ketika menghadapi masalah baru seperti transaksi digital atau bioetika, ulama dapat menggunakan metode Qiyas (analogi) atau Maslahah Mursalah (kebaikan yang tidak diatur secara eksplisit) untuk menetapkan hukum yang sesuai dengan prinsip syariat.

Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalam Ushul Fiqih, terdapat empat sumber utama hukum Islam yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas. Keempat sumber ini memiliki peran yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum syariat.

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang paling utama dan paling sah (otoritatif). Kedudukannya sebagai sumber hukum pertama dan tertinggi dalam Islam didasarkan pada keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al-Qur'an tidak hanya berfungsi sebagai pedoman spiritual, tetapi juga sebagai sumber hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah (ibadah), hubungan antarmanusia (muamalah), maupun etika dan moral (akhlak). Berikut penjelasan lebih rinci tentang pernyataan tersebut:


1. Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum Utama dan Paling Sah

Al-Qur'an diakui sebagai sumber hukum utama dalam Islam karena beberapa alasan:

  • Keotentikan dan Kesuciannya: Al-Qur'an diyakini sebagai wahyu Allah SWT yang terjaga keasliannya hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hijr (15:9):
    "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."
    Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an terpelihara dari perubahan atau distorsi, sehingga keabsahannya sebagai sumber hukum tidak diragukan.

  • Kedudukannya sebagai Sumber Pertama: Dalam hierarki sumber hukum Islam, Al-Qur'an menempati posisi tertinggi. Hadis, Ijma', dan Qiyas berfungsi sebagai penjelas atau pelengkap dari Al-Qur'an, bukan sebagai sumber yang independen.

  • Universalitas dan Kelengkapannya: Al-Qur'an mencakup prinsip-prinsip dasar yang universal dan relevan untuk semua zaman dan tempat. Ia tidak hanya membahas masalah ibadah, tetapi juga muamalah, politik, ekonomi, sosial, dan akhlak.


2. Al-Qur'an sebagai Kalamullah (Firman Allah)

Al-Qur'an diyakini sebagai kalamullah, yaitu firman Allah SWT yang disampaikan secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an sendiri, seperti dalam Surah Asy-Syu'ara (26:192-195):
"Dan sungguh, (Al-Qur'an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan."
Sebagai kalamullah, Al-Qur'an memiliki otoritas mutlak dalam menetapkan hukum, dan setiap Muslim wajib mengikuti petunjuknya.


3. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Islam dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain:

  • Ibadah: Al-Qur'an memberikan pedoman tentang tata cara beribadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Misalnya, Surah Al-Baqarah (2:183) menjelaskan kewajiban puasa Ramadhan.

  • Muamalah: Al-Qur'an mengatur hubungan antarmanusia, seperti transaksi ekonomi, pernikahan, warisan, dan hukum pidana. Contohnya, Surah Al-Baqarah (2:275) melarang praktik riba.

  • Akhlak: Al-Qur'an menekankan pentingnya moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Surah Al-Hujurat (49:11) melarang umat Islam saling menghina dan merendahkan.


4. Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur'an: Qath'i dan Zhanni

Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an dapat dikategorikan menjadi dua jenis berdasarkan kejelasan maknanya:

  • Qath'i (Pasti): Ayat-ayat qath'i adalah ayat yang maknanya jelas, tegas, dan tidak mengandung kemungkinan penafsiran lain. Contohnya adalah kewajiban shalat lima waktu (Surah An-Nisa' 4:103) dan larangan membunuh (Surah Al-Isra' 17:33). Ayat-ayat qath'i bersifat final dan tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut.

  • Zhanni (Interpretatif): Ayat-ayat zhanni adalah ayat yang maknanya tidak sepenuhnya jelas atau mengandung kemungkinan penafsiran yang beragam. Contohnya adalah ayat tentang poligami (Surah An-Nisa' 4:3) yang memerlukan penafsiran kontekstual. Ayat-ayat zhanni memerlukan analisis mendalam melalui ilmu tafsir, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan pemahaman terhadap bahasa Arab.


5. Perlunya Penafsiran Mendalam

Karena adanya ayat-ayat zhanni, penafsiran Al-Qur'an menjadi suatu keharusan dalam Ushul Fiqih. Penafsiran ini dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, seperti:

  • Ilmu Tafsir: Ilmu yang mempelajari makna dan maksud ayat-ayat Al-Qur'an. Contoh kitab tafsir terkenal adalah Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kathir.

  • Asbabun Nuzul: Memahami konteks historis dan sosial saat ayat tersebut diturunkan. Misalnya, ayat tentang perang (Surah Al-Baqarah 2:190) harus dipahami dalam konteks peperangan pada masa Nabi Muhammad SAW.

  • Bahasa Arab: Memahami struktur bahasa, kosa kata, dan gaya bahasa Al-Qur'an. Misalnya, kata "quru'" dalam Surah Al-Baqarah (2:228) dapat diartikan sebagai "suci" atau "haid," sehingga memerlukan analisis linguistik.


6. Relevansi Al-Qur'an dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun Al-Qur'an diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, prinsip-prinsip hukum yang terkandung di dalamnya tetap relevan hingga saat ini. Misalnya:

  • Ekonomi: Prinsip keadilan dalam transaksi ekonomi (Surah Al-Baqarah 2:282) dapat diterapkan dalam sistem keuangan modern.

  • Hak Asasi Manusia: Al-Qur'an menegaskan kesetaraan manusia (Surah Al-Hujurat 49:13) dan melarang diskriminasi.

  • Lingkungan: Al-Qur'an mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian alam (Surah Ar-Rum 30:41).

Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam utama dan paling sah memiliki peran sentral dalam pembentukan hukum syariat. Ia mengandung prinsip-prinsip dasar yang mencakup berbagai aspek kehidupan, baik ibadah, muamalah, maupun akhlak. Meskipun sebagian ayat bersifat qath'i (pasti), sebagian lainnya bersifat zhanni (interpretatif) dan memerlukan penafsiran mendalam melalui ilmu tafsir, asbabun nuzul, dan pemahaman bahasa Arab. Dengan demikian, Al-Qur'an tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga sumber hukum yang dinamis dan relevan untuk semua zaman.Metode Penggalian Hukum: Ulama menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, dalam menafsirkan konteks hukum, asbabun nuzul, atau sebab turunnya ayat, sangat penting (Al-Suyuti, 1974).

2. Hadis (Sunnah)

Hadis yang sahih (valid) memiliki kekuatan hukum yang tinggi, sedangkan Hadis dhaif (lemah) tidak dapat dijadikan dalil utama (Ibn Hajar, 2000). Hadis menempati posisi sebagai sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Kedudukannya yang penting ini didasarkan pada fungsinya sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum atau global. Hadis juga menjadi sumber independen untuk masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Berikut penjelasan lebih rinci tentang pernyataan tersebut:


1. Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua

Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan (taqrir) Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh para sahabat dan disusun dalam kitab-kitab Hadis. Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum kedua didasarkan pada beberapa alasan:

  • Perintah Al-Qur'an: Al-Qur'an sendiri memerintahkan umat Islam untuk menaati Nabi Muhammad SAW. Misalnya, dalam Surah An-Nisa' (4:59), Allah SWT berfirman:
    "Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)."
    Ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah bagian integral dari ketaatan kepada Allah SWT.

  • Fungsi Nabi sebagai Penjelas: Nabi Muhammad SAW diutus tidak hanya untuk menyampaikan Al-Qur'an, tetapi juga untuk menjelaskan makna dan cara mengamalkannya. Hal ini ditegaskan dalam Surah An-Nahl (16:44):
    "Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur'an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka."


2. Fungsi Hadis sebagai Penjelas (Bayan)

Hadis berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum atau global. Beberapa contoh fungsi Hadis sebagai bayan adalah:

  • Penjelasan Ibadah: Al-Qur'an memerintahkan shalat, tetapi tidak menjelaskan tata caranya secara rinci. Hadis-lah yang menjelaskan jumlah rakaat, waktu shalat, dan gerakan-gerakan dalam shalat. Misalnya, Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menjelaskan tata cara shalat Nabi Muhammad SAW.

  • Penjelasan Hukum: Al-Qur'an melarang riba, tetapi tidak menjelaskan secara detail apa saja yang termasuk riba. Hadis memberikan penjelasan lebih lanjut tentang jenis-jenis transaksi yang terlarang.

  • Penjelasan Prinsip Umum: Al-Qur'an menekankan pentingnya keadilan, tetapi Hadis memberikan contoh konkret tentang bagaimana menerapkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.


3. Contoh Peran Hadis dalam Menjelaskan Al-Qur'an

Salah satu contoh konkret peran Hadis sebagai penjelas adalah dalam hal shalat. Al-Qur'an memerintahkan shalat dalam beberapa ayat, seperti Surah Al-Baqarah (2:43):
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk."
Namun, Al-Qur'an tidak menjelaskan detail tata cara shalat. Di sinilah Hadis berperan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Bukhari).
Hadis ini menjadi pedoman praktis bagi umat Islam dalam melaksanakan shalat.


4. Metode Penggalian Hukum dari Hadis

Untuk menggali hukum dari Hadis, ulama menggunakan metode yang sistematis dan ketat. Metode ini melibatkan kajian terhadap dua aspek utama Hadis, yaitu sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi Hadis). Proses ini dilakukan melalui ilmu musthalah Hadis (studi tentang Hadis).

a. Kajian Sanad (Rantai Periwayatan)

Sanad adalah rantai periwayat yang menyampaikan Hadis dari Nabi Muhammad SAW hingga ke kitab-kitab Hadis. Ulama meneliti kualitas sanad dengan cara:

  • Menyelidiki Kredibilitas Periwayat: Setiap periwayat dalam sanad harus memenuhi kriteria sebagai orang yang adil (bermoral baik) dan dhabit (kuat hafalan atau catatannya).

  • Mengevaluasi Kesinambungan Sanad: Sanad harus bersambung dari Nabi Muhammad SAW hingga ke periwayat terakhir tanpa ada mata rantai yang terputus.

  • Mengidentifikasi Kelemahan Sanad: Jika ada periwayat yang lemah (misalnya, sering lupa atau tidak dikenal), maka Hadis tersebut dianggap lemah (dhaif).

b. Kajian Matan (Isi Hadis)

Matan adalah teks atau isi Hadis itu sendiri. Ulama meneliti matan dengan cara:

  • Menganalisis Keselarasan dengan Al-Qur'an: Matan Hadis tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an.

  • Mengevaluasi Kejelasan Makna: Matan harus jelas dan tidak mengandung ambiguitas yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.

  • Mengidentifikasi Kejanggalan: Jika matan mengandung kejanggalan (misalnya, bertentangan dengan akal sehat atau fakta sejarah), maka Hadis tersebut dianggap lemah.

c. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas

Berdasarkan kajian sanad dan matan, Hadis diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat kualitas:

  • Sahih: Hadis yang sanadnya bersambung, periwayatnya terpercaya, dan matannya tidak mengandung kejanggalan.

  • Hasan: Hadis yang sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit kelemahan pada periwayatnya.

  • Dhaif: Hadis yang sanadnya terputus atau periwayatnya lemah.

  • Maudhu': Hadis palsu yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.


5. Relevansi Hadis dalam Kehidupan Kontemporer

Hadis tidak hanya menjadi sumber hukum pada masa lalu, tetapi juga relevan dalam kehidupan modern. Misalnya:

  • Ekonomi: Hadis tentang larangan penimbunan barang (ihtikar) dapat diterapkan dalam konteks ekonomi modern untuk mencegah monopoli.

  • Kesehatan: Hadis tentang kebersihan (seperti perintah mencuci tangan) sejalan dengan prinsip-prinsip kesehatan modern.

  • Sosial: Hadis tentang pentingnya silaturahmi dan menjaga hubungan baik dengan tetangga tetap relevan dalam masyarakat kontemporer.

Hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum atau global. Melalui ilmu musthalah Hadis, ulama meneliti kualitas Hadis dengan menganalisis sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi Hadis). Proses ini memastikan bahwa Hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum adalah sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, Hadis tidak hanya melengkapi Al-Qur'an, tetapi juga menjadi pedoman praktis bagi umat Islam dalam menjalankan syariat.

3. Ijma'

Ijma' adalah salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi ketiga setelah Al-Qur'an dan Hadis. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama mujtahid (ahli ijtihad) dari kalangan umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW mengenai suatu hukum syariat. Ijma' memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum Islam karena diyakini sebagai bentuk konsensus yang tidak mungkin salah. Berikut penjelasan lebih rinci tentang Ijma' dan metode penggalian hukumnya:


1. Definisi dan Kedudukan Ijma'

Ijma' secara bahasa berarti "kesepakatan" atau "konsensus." Secara istilah, Ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid (ahli ijtihad) dari kalangan umat Islam pada suatu masa tertentu mengenai suatu hukum syariat yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an atau Hadis. Kedudukan Ijma' sebagai sumber hukum ketiga didasarkan pada beberapa alasan:

  • Dukungan dari Al-Qur'an: Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk bersatu dan tidak bercerai-berai. Misalnya, dalam Surah Ali Imran (3:103), Allah SWT berfirman:
    "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai."
    Ijma' dianggap sebagai bentuk persatuan umat Islam dalam menetapkan hukum.

  • Dukungan dari Hadis: Nabi Muhammad SAW bersabda:
    "Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan." (HR. Tirmidzi).
    Hadis ini menjadi dasar keyakinan bahwa Ijma' umat Islam adalah benar dan tidak mungkin salah.


2. Syarat-Syarat Ijma'

Agar suatu kesepakatan dapat dianggap sebagai Ijma', terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  • Kesepakatan Para Ulama Mujtahid: Ijma' harus melibatkan kesepakatan para ulama yang memenuhi syarat sebagai mujtahid, yaitu ulama yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad (penalaran hukum) secara mandiri.

  • Kesepakatan pada Suatu Masa Tertentu: Ijma' harus terjadi pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Misalnya, Ijma' pada masa sahabat, tabi'in, atau generasi setelahnya.

  • Tidak Ada Penentangan: Tidak boleh ada ulama mujtahid yang menentang kesepakatan tersebut. Jika ada perbedaan pendapat, maka tidak dapat disebut sebagai Ijma'.

  • Berdasarkan Dalil yang Jelas: Meskipun Ijma' digunakan ketika tidak ada dalil yang jelas dalam Al-Qur'an atau Hadis, kesepakatan tersebut harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam kedua sumber tersebut.


3. Metode Penggalian Hukum melalui Ijma'

Proses penggalian hukum melalui Ijma' melibatkan beberapa langkah:

  1. Identifikasi Masalah: Ulama mengidentifikasi masalah hukum yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an atau Hadis.

  2. Kajian dan Diskusi: Para ulama mujtahid melakukan kajian mendalam dan diskusi untuk mencari solusi hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

  3. Kesepakatan: Jika para ulama mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dianggap sebagai Ijma'.

  4. Pengakuan dan Penerapan: Ijma' yang telah disepakati diakui sebagai hukum yang mengikat dan diterapkan dalam kehidupan umat Islam.


4. Sifat Ijma' sebagai Qath'i (Pasti)

Ijma' bersifat qath'i (pasti) dan tidak dapat diganggu gugat karena beberapa alasan:

  • Konsensus Umat Islam: Ijma' diyakini sebagai bentuk konsensus umat Islam yang tidak mungkin salah. Keyakinan ini didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa umat Islam tidak akan bersepakat dalam kesesatan.

  • Keterikatan dengan Al-Qur'an dan Hadis: Meskipun Ijma' digunakan ketika tidak ada dalil yang jelas dalam Al-Qur'an atau Hadis, kesepakatan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam kedua sumber tersebut.

  • Otoritas Ulama: Para ulama mujtahid yang terlibat dalam Ijma' adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur'an, Hadis, dan prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, kesepakatan mereka dianggap memiliki otoritas yang tinggi.


5. Contoh Ijma' dalam Sejarah Islam

Beberapa contoh Ijma' yang terjadi dalam sejarah Islam antara lain:

  • Ijma' tentang Kewajiban Shalat Lima Waktu: Meskipun Al-Qur'an memerintahkan shalat, jumlah rakaat dan tata caranya dijelaskan melalui Hadis. Para ulama sepakat (Ijma') bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

  • Ijma' tentang Keharaman Riba: Al-Qur'an melarang riba, tetapi Ijma' ulama menegaskan bahwa semua bentuk riba, termasuk riba dalam transaksi modern, adalah haram.

  • Ijma' tentang Kepemimpinan (Imamah): Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah kewajiban untuk menjaga kemaslahatan umat.


6. Relevansi Ijma' dalam Kehidupan Kontemporer

Ijma' tetap relevan dalam kehidupan modern karena beberapa alasan:

  • Menjawab Tantangan Baru: Ijma' dapat digunakan untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an atau Hadis, seperti masalah bioetika, teknologi, dan keuangan modern.

  • Menjaga Kesatuan Umat: Ijma' membantu menjaga kesatuan umat Islam dengan menyepakati hukum-hukum yang berlaku secara universal.

  • Mencegah Perpecahan: Dengan adanya Ijma', perbedaan pendapat di kalangan ulama dapat diminimalisir, sehingga mencegah perpecahan dalam umat Islam.

Ijma' adalah sumber hukum Islam ketiga yang didasarkan pada kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ijma' bersifat qath'i (pasti) dan tidak dapat diganggu gugat karena diyakini sebagai bentuk konsensus umat Islam yang tidak mungkin salah. Melalui Ijma', ulama dapat menetapkan hukum-hukum yang relevan dengan perkembangan zaman, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariat. Dengan demikian, Ijma' tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga alat untuk menjaga kesatuan dan kemaslahatan umat Islam.

4. Qiyas

Menurut Al-Shatibi (2003), qiyas adalah teknik analogi yang digunakan untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, Hadis, atau Ijma'. Qiyas dilakukan dengan membandingkan kasus baru tersebut dengan kasus yang sudah ada hukumnya karena adanya kesamaan illat (alasan hukum).
Metode Penggalian Hukum: Ulama menerapkan hukum yang salah dari kasus sebelumnya ke kasus baru. Misalnya, pengharaman obat-obatan dapat dianalogikan dengan pengharaman khamr, yaitu memabukkan, karena keduanya memiliki tujuan yang sama (Ibn Qudamah, 1997).

Peran Ushul Fiqih dalam Pembentukan Hukum Islam

Menurut Kamali (2003), Ushul Fiqih berfungsi sebagai kerangka metodologis sistematis yang digunakan para ulama dalam menggali dan menetapkan hukum Islam; tanpanya, proses ijtihad, atau penalaran hukum, akan kehilangan arah dan konsistensi. Ilmu ini juga membantu menjaga proses penetapan hukum tetap objektif dan hati-hati, sehingga hukum yang dihasilkan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kebutuhan umat.

Kesimpulan
Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat penting dalam Islam karena menjadi fondasi bagi pengembangan hukum syariat. Dengan memahami Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas, serta metode penggalian hukumnya, para ulama dapat menetapkan hukum yang adil, relevan, dan sesuai dengan tujuan syariat (maqashid syariah). Keempat sumber hukum ini saling melengkapi dan membentuk sistem hukum Islam yang dinamis namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip ilahiyah.

Daftar Pustaka

  1. Al-Zuhayli, Wahbah. (1986). Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.
  2. Al-Suyuti, Jalaluddin. (1974). Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an. Kairo: Dar al-Hadith.
  3. Al-Shafi'i, Muhammad ibn Idris. (1987). Al-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
  4. Ibn Hajar, Ahmad. (2000). Nuzhat al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikr. Riyadh: Maktabah al-Ma'arif.
  5. Al-Ghazali, Abu Hamid. (1993). Al-Mustasfa min Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
  6. Al-Amidi, Sayfuddin. (1984). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Dar al-Hadith.
  7. Al-Shatibi, Ibrahim. (2003). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shariah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
  8. Ibn Qudamah, Muwaffaquddin. (1997). Rawdat al-Nazir wa Jannat al-Manazir. Riyadh: Maktabah al-Rushd.
  9. Kamali, Mohammad Hashim. (2003). Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar